Wina – Sejumlah stasiun penyiaran publik Eropa resmi mengumumkan bahwa mereka tidak akan berpartisipasi dalam Eurovision Song Contest 2026 di Wina, Austria. Keputusan ini muncul setelah Uni Penyiaran Eropa (EBU) menolak untuk mengecualikan Israel dari kompetisi tersebut.
Pada Kamis (4/12), lembaga penyiaran pemerintah Spanyol RTVE, stasiun Belanda AVROTROS, penyiar publik Irlandia RTE, serta penyiar nasional Slovenia RTVSLO menyatakan bahwa mereka menarik diri dari ajang yang dijadwalkan berlangsung pada 16 Mei 2026. Sikap ini diambil sebagai bentuk protes terhadap aksi militer Israel di Gaza.
Gelombang kritik terhadap partisipasi Israel semakin meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Pada Mei lalu, Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez bahkan meminta EBU untuk melarang keikutsertaan Israel selama operasi militernya di Gaza masih berlangsung. RTVE, yang menyiarkan Eurovision 2025, mengaku sempat diperingatkan oleh panitia agar tidak menyinggung isu Gaza dalam siaran final. Sebagai tanggapan, RTVE menampilkan pesan yang menegaskan komitmen mereka terhadap hak asasi manusia dan menyerukan perdamaian bagi Palestina.
RTE dari Irlandia menyebut partisipasi Israel sebagai hal yang “tidak etis,” mengingat besarnya jumlah korban jiwa dan krisis kemanusiaan yang terjadi di Gaza. Slovenia juga mengonfirmasi langkah serupa dengan menarik diri dari kompetisi tahun depan.
Beberapa negara lain masih mempertimbangkan keputusan mereka. Penyiar Islandia RUV akan menggelar rapat dewan minggu depan untuk menentukan sikap final, setelah sebelumnya menyarankan agar Israel didiskualifikasi. Di sisi lain, Jerman menyatakan siap mundur apabila Israel justru dilarang ikut serta, sementara Austria sebagai tuan rumah mendukung penuh keputusan EBU. Menteri Luar Negeri Austria, Beate Meinl-Reisinger, menyampaikan dukungannya melalui platform X.
Eurovision, yang pertama kali digelar pada 1956 sebagai simbol persatuan Eropa pascaperang, kini menghadapi salah satu polemik terbesar dalam sejarahnya. Sebelumnya, AVROTROS menyebut bahwa partisipasi Israel sulit dibenarkan mengingat besarnya penderitaan warga Gaza yang masih terus berlangsung.
Hingga kini, Gaza tetap berada dalam kondisi kemanusiaan yang sangat kritis. Meskipun gencatan senjata antara Israel dan Hamas diberlakukan pada 10 Oktober, rumah sakit dan layanan publik masih kewalahan. Sebagian besar dari dua juta penduduknya masih hidup di tenda dan tempat penampungan darurat, dengan tanda-tanda pemulihan yang sangat minim.










